JAKARTA, KURVANEWS – Dinamika politik pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 semakin panas. Putusan MK tersebut dinilai memberikan “jalan tol” kepada putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka untuk dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden (Cawapres). Bahkan ada sejumlah pengamat hukum tata negara menilai, MK seharusnya tidak berwenang menangani perkara gugatan batas usia calon presiden (Capres) dan Cawapres tersebut.

Gugatan terkait batas usia Capres dan Cawapres merupakan open legal policy yang kewenangannya ada pada DPR dan pemerintah. Namun, MK telah menjatuhkan putusan dan menambahkan frasa baru pada Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Salah satu yang disorot oleh pelapor adalah dugaan pelanggaran etik yang diduga dilakukan Ketua MK Anwar Usman, yang merupakan paman dari Gibran Rakabuming Raka. Menurut pelapor, Anwar Usman seharusnya mengundurkan diri atau tidak boleh terlibat dalam penanganan perkara tersebut karena ada konflik kepentingan (conflict of interest) dengan orang yang berkepentingan dengan perkara dalam hal ini keponakannya sendiri, Gibran Rakabuming Raka.

Putusan MK tersebut mendapat reaksi keras dari masyarakat. Tak ketinggalan sejumlah advokat dan guru besar hukum tata negara. Sejumlah organisasi advokat dan guru besar hukum tata negara melaporkan semua hakim MK terkait dugaan pelanggaran etik dalam menangani perkara dimaksud.

Baca Juga: Masih Ingat Kasus Dugaan ‘Bancakan’ di Bank Banten? Jaksa Tetapkan Tersangka Baru

Pemprov Buka Peluang Stadion International Banten Dikelola Swasta

MK dalam putusannya menambahkan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden yang termaktub dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Dalam putusan uji materi terkait batas usia capres-cawapres perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu, hakim MK menyatakan, seseorang yang belum berusia 40 tahun bisa maju menjadi capres atau cawapres selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilu.

Pasca putusan MK tersebut, Partai Golkar melalui Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas), pada tanggal 21 Oktober 2023 merekomendasikan Prabowo Subianto sebagai Capres dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres. Rekomendasi Rapimnas Partai Golkar tersebut seolah mengkonfirmasi bahwa gugatan uji materi ke MK terkait batas usia capres dan cawapres itu memang sengaja didesain untuk meloloskan Gibran sebagai cawapres.

Sehari setelah Partai Golkar merekomendasi Gibran, para ketua umum partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) melakukan rapat. Rapat tersebut memutuskan Prabowo Subianto sebagai Capres dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres yang diusung oleh KIM yang terdiri dari Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, Partai Gelora, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Garuda, Partai Prima dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Pasangan Prabowo-Gibran telah secara resmi mendaftar ke KPU pada tanggal 25 Oktober 2023.

Baca Juga: Rawan Praktik Gratifikasi, Pemprov Banten Dipantau KPK

Sate Bandeng, Kuliner Banten yang Jadi Favorit Sultan

Lalu bagimana nasib laporan dugaan pelanggaran etik para hakim MK? Laporan sejumlah pihak terkait dugaan pelanggaran etik yang dilakukan hakim MK dalam memutuskan perkara dimaksud telah direspons oleh MK dengan membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).

MKMK yang diketui oleh Prof. Dr. H. Jimly Asshiddiqie, S.H., M.H itu telah mulai bekerja sejak Kamis, 26 Oktober 2023 dengan agenda klarifikasi dari pihak pelapor. Sidang pemeriksaan terhadap pelapor akan dimulai pada Selasa, 31 Oktober 2023.

Pertanyaannya, apakah pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres bisa dibatalkan atau dianggap tidak sah jika MKMK memutuskan bahwa hakim MK dalam hal ini Ketua MK Anwar Usman terbukti melanggar etik? Adakah celah hukum yang bisa membatalkan Gibran sebagai Cawapres, kalau ternyata MKMK menemukan cukup bukti dan menyatakan hakim MK melanggar etik? Apakah putusan pengadilan etik oleh MKMK ini hanya berdampak terhadap hakim MK secara individu, bukan terhadap putusan MK dimaksud? Sebab, putusan MK bersifat final dan mengikat (binding)?

Dari sejumlah laporan yang diterima MKMK, ada satu yang berbeda yakni laporan yang disampaikan oleh Prof Denny Indrayana. Denny menilai ada celah hukum yang bisa berkonsekuensi tidak sahnya pencalonan Gibran sebagai Cawapres jika MKMK memutuskan Ketua MK Anwar Usman terbukti bersalah melanggar etik.

Denny mengacu pada UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya pada pasal 17 ayat 6 yang berbunyi: “Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang
bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Pada pasal 17 ayat 3, ditegaskan bahwa seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.

Baca Juga: Andika Puji Kinerja Bupati Serang, BACU Center: Jangan Lupa PR Puspemkab

Polisi Buru Importir Pakaian Bekas

Pasal 17 ayat 4, diatur bahwa ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat.

Selanjutnya, dalam Pasal 17 ayat 5 berbunyi: “Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.”

Pasal 17 ayat 7 berbunyi: “Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang
berbeda.”

Menurut Denny, kalau mengacu pada pasal 17 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, peluang tidak sahnya pencalonan Gibran sebagai Cawapres masih sangat terbuka, jika MKMK memutuskan Ketua MK Anwar Usman terbukti bersalah melanggar etik. Jika benar terbukti bersalah, putusan MK terkait perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dinyatakan tidak sah. Konsekuensinya, pencalonan Gibran sebagai Cawapres pun dinyatakan tidak sah. Perkara harus diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat 7.

Kita ikuti proses sidang MKMK dan menunggu hasilnya apakah hakim MK terbukti bersalah melanggar etik atau tidak? Apakah Ketua MK Anwar Usman terbukti melanggar etik karena tidak mengundurkan diri dalam menangani perkaras Nomor 90/PUU-XXI/2023? *** (L Dami)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *